Pekerja Migran Perempuan

Oleh M. Ghufran H. Kordi K.

Pengamat Sosial

Kementerian Ketenakerjaan (Kemenaker) memberikan sanksi keras dengan mencabut ijin operasional 26 pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia swasta (PPTKIS) yang selama ini melakukan penempatan tenaga kerja Indonesia (TKI) atau pekerja/buruh migran ke luar negeri. Selain pencabutan ijin, pada tahun 2014 Kemenaker juga memberikan sanksi skorsing terhadap 231 PPTKIS. Sementara jumlah PPTKIS yang masih beroperasi sebanyak 518 perusahaan.

Pencabutan ijin operasional dan skorsing bagi PPTKIS yang melakukan pelanggaran berat adalah bagian dari pembenahan tata kelola perlindungan dan penempatan pekerja migran di luar negeri. Perlindungan pekerja migran di luar negeri menjadi permasalahan serius di negeri ini. Pasalnya, jumlah pekerja migran yang besar di luar negeri bekerja dalam kondisi eksploitatif dan diperbudak di berbagai negara tujuan, terutama Timur Tengah dan Asia Pasifik.

Bukan hanya negara tujuan pekerja migran yang tidak memberikan perlindungan terhadap pekerja migran, pemerintah Indonesia pun belum memberikan perlindungan yang memadai bagi pekerja migrannya. Negara tidak memiliki data yang valid mengenai warga negaranya yang menjadi pekerja di negara tujuan. Di dalam negeri, dari tingkat terendah (RT/RW dan kelurahan/desa) hingga pemerintah pusat, tidak ada data yang valid mengenai penduduk yang menjadi pekerja di luar negeri.

Ketiadaan data mengenai jumlah pekerja migran di luar negeri, tidak hanya membiarkan warga negara meninggalkan negara tanpa pantauan, tetapi juga membiarkan warga negara dalam ancaman. Pihak-pihak pengguna pekerja migran merasa tidak diawasi oleh siapa pun sehingga dapat memperlakukan pekerja migran secara tidak manusiawi.

Data yang muncul hanya perkiraan dari berbagai lembaga. Apalagi jumlah pekerja migran yang berangkat tanpa dokumen resmi atau oleh pemerintah disebut illegal lebih banyak dan tidak dicatat oleh pemerintah. Banyak faktor sebagai penyebab pekerja migran berangkat ke luar negeri tanpa dokumen, di antaranya adalah birokrasi yang rumit dan mahal. Menurut Kajian Bank Dunia (2013) biaya penempatan pekerja migran di Indonesia menempati angka teratas atau termahal di seluruh dunia.

Diperkirakan jumlah pekerja migran di luar negeri mencapai 6,5 juta orang yang menyumbang devisa sekitar Rp. 100 triliun per tahun (Kompas, 18/09/2014). Selain devisa, negara juga ditolong oleh warga negaranya dalam mengatasi pengangguran dan kemiskinan. Sayangnya negara belum mampu berbuat banyak dalam menyiapkan pekerja migran untuk menjadi tenaga kerja terampil dan memberikan perlindungan ketika berada di negara tujuan.

Eksploitasi dan Trafiking

Sebagian besar pekerja migran di luar negeri bekerja pada pekerjaan-pekerjaan yang selama ini dinilai sebagai pekerjaan yang membutuhkan ketrampilan rendah dan tersembunyi, seperti pekerja di sektor konstruksi, perkebunan, perikanan dan pekerjaan yang berada di ranah domestik, pekerja rumah tangga (PRT). Pekerjaan tersebut berada di lingkungan yang sulit di pantau dan di awasi, terutama PRT. Karena itu, pekerja migran yang bekerja pada pekerjaan-pekerjaan tersebut rentan dieksploitasi oleh pemberi kerja atau majikan.

Bentuk-bentuk eksploitasi terhadap pekerja migran yang teridentifikasi antara lain : (1) Bekerja di satu majikan, tetapi dipekerjakan di lebih dari satu tempat, tanpa ada gaji tambahan; (2) Bekerja dalam waktu yang panjang, 12-20 jam sehari, tanpa waktu istirahat, dan tanpa gaji tambahan; (3) Bekerja tanpa dibayar sama sekali atau dibayar tetapi dengan upah rendah yang tidak sesuai dengan kontrak kerja; (4) Beban kerja berlapis, terutama pekerja domestik (PRT), seperti mengurus anak, membersihkan rumah, memasak pada rumah majikan dengan ukuran besar dan anggota keluarga yang banyak; (5) Tidak diberi makan yang cukup. Makanan untuk pekerja migran adalah makanan sisa, makanan basi, atau makanan yang tidak memenuhi standar gizi; (6) Tidak diberi tempat tinggal yang memadai, misalnya dipaksa tidur di lantai, di gudang, atau bahkan kamar mandi; (7) Pemotongan gaji 6-12 bulan. Pemotongan gaji ini dilakukan oleh agensi PJTKI dengan dalih biaya penempatan, yang kadang overcharging; (8) Dipaksa melayani hasrat seksual majikan laki-laki dengan ancaman dan kekerasan; (9) Eksploitasi seksual yang sangat beragam, di antaranya adalah ditrafiking untuk menjadi pekerja seks; (10) Tidak mendapatkan alat keselamatan kerja. Bagi pekerja migran yang bekerja di sektor konstruksi sering tidak mempunyai helm, sarung tangan, dan alat keselamatan lainnya.

Pekerja migran perempuan rentan di-trafiking untuk menjadi pekerja seks. Salah satu jalur terbesar bagi trafiking perempuan dan anak adalah rekruitmen pekerja migran. Di antara berbagai kasus pemulangan pekerja migran yang menyedihkan adalah perempuan-perempuan yang dijebak masuk dalam industri seks komersial.

Pekerja Migran Perempuan

Dalam laporan index perbudakan global (global slavery index) tahun 2013 yang direlease Walk Free, negara Mauritania, Haiti, dan Pakistan menjadi negara dengan angka perbudakan modern tertinggi. Laporan tersebut mengukur perbudakan di 162 negara dengan memperkirakan jumlah orang di setiap negara yang terkena dampak oleh praktek-praktek perbudakan. Diperkirakan terdapat lebih dari 21 juta orang yang diperbudak di Asia, atau lebih dari 72 % dari total 28,9 juta orang yang diperbudak di seluruh dunia. Indonesia memiliki jumlah penduduk diperbudak terbesar ke-16 di dunia, namun berada di peringkat 114 dari 162 negara jika dilihat dalam hal proporsi penduduk di perbudakan modern. Sebagai sebuah penelitian, index tersebut mengungkap fakta, betapa warga Negara Indonesia yang bekerja di luar negeri, khususnya di kawasan Timur Tengah dan Asia-Pasifik, telah dieksploitasi secara seksual, dipekerjakan secara paksa, baik dalam bidang rumah tangga, konstruksi, perikanan, dan perhotelan (Migrant Care, 2013).

Pekerjaan di sektor rumah tangga merupakan salah satu pekerjaan yang diisi oleh pekerja migran perempuan dengan menjadi PRT. Sektor lain yang menjadi tempat bekerja bagi pekerja migran perempuan adalah industri seks komersial, di mana perempuan dipaksa dan dijebak masuk menjadi pekerja seks.

Dua sektor tersebut merupakan lingkungan pekerjaan tertutup, tidak terpantau, dan sulit diawasi. Dengan begitu pekerja migran perempuan yang berada di sektor tersebut rentan mengalami diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan. Mereka diperbudak oleh warga negara lain, karena negara mereka tidak mampu melindungi mereka.

Kisah pekerja migran perempuan asal Cirebon, Jawa Barat, Santi Harita, yang hilang kontak dengan keluarga selama 15 tahun (Kompas, 10 Maret 2015), adalah rentetan tambahan kisah, betapa pekerja migran perempuan rawan diperlakukan tidak manusiawi, bukan hanya karena mereka adalah pekerja migran, tetapi juga karena mereka berjenis kelamin perempuan. Karena itu, pemerintah perlu membuat sistem perlindungan pekerja migran perempuan yang dimulai dari daerah asal. Selama ini pengiriman pekerja migran perempuan—legal maupun ilegal—begitu mudah.(***)

Berita Terkait