Partisipasi Konstituen dalam Pembentukan Perda

Oleh M. GHUFRAN H. KORDI K.

Dalam pembentukan kebijakan di daerah, anggota DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) perlu membuka ruang yang memungkinkan konstituen atau masyarakat untuk mengikuti berbagai proses, baik terlibat langsung dalam proses pembentukan, maupun hanya mengikuti tahapan prosesnya. Ini penting karena setiap kebijakan dapat berdampak pada konstituen dalam berbagai bentuk.

Sebagai wakil rakyat, anggota DPRD perlu memberi informasi yang benar kepada konstituennya mengenai dampak dari pembentukan dan penerapan sebuah kebijakan. Jika kebijakan yang dibentuk akan berdampak positif bagi konstituen, maka konstituen harus mengetahui apa-apa yang dapat bermanfaat bagi mereka dan apa yang disiapkan untuk memperoleh manfaat dari kebijakan tersebut. Jika kebijakan tersebut berupa layanan publik, maka konstituen perlu didorong untuk mengakses layanan yang akan disediakan.

Sering terjadi, masyarakat tidak dapat mengakses layanan tertentu karena ketidaktahuan atau ketidakberdayaan mereka. Sementara elit-elit masyarakat setempat, termasuk aparat pemerintah setempat, mencari cara yang mudah dengan mendaftar atau memasukkan orang-orang terdekat saja. Ini terus-menerus berlangsung, karena masyarakat miskin, perempuan miskin, kelompok disabilitas, dan kelompok minoritas lainnya tidak mempunyai kemampuan untuk memperjuangkan kebutuhannya.

Pengalaman Program MAMPU (Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan) di mana penguatan masyarakat melalui kelompok konstituen (KK) berdampak pada perubahan di tingkat masyarakat. KK yang melakukan pendataan ulang terhadap penerima beras sejahtera (rasta)—beras miskin (raskin)—memberi masukan kepada pemerintah di tingkat kelurahan/desa, kecamatan, hingga kabupaten/kota, untuk mengubah daftar penerima rasta. Sebagian penerima rasta adalah keluarga yang secara ekonomi lebih baik, sedangkan terdapat keluarga yang lebih miskin tidak menerima rasta.

Anggota DPRD pun dapat mengubah cara-cara tersebut melalui reses atau kunjungan-kunjungan ke konstituen. Karena itu, reses yang dilakukan oleh anggota DPRD perlu menggunakan metode yang memungkinkan setiap warga mempunyai perwakilan dalam pertemuan dengan anggota DPRD, tidak seperti selama ini di mana reses hanya dihadiri oleh aparat pemerintah, tokoh masyarakat, dan tim sukses. Reses Partisipatif memungkinkan semua elemen konstituen dapat menjadi peserta reses, termasuk masyarakat miskin, perempuan miskin, penyandang disabilitas, dan kelompok marjinal lainnya.

Dengan memperkuat masyarakat atau konstituen, anggota DPRD ikut mendidik konstituen secara politik. Konstituen yang mempunyai kapasitas dan terdidik memudahkan tugas-tugas anggota DPRD. Di samping konstituen yang memperoleh manfaat dari anggota DPRD tidak mudah memilih calon lain dalam pemilihan anggota legislatif.

Kebijakan apa pun yang dikeluarkan, publik dianggap sudah tahu dan sudah siap menerima kebijakan tersebut. Padahal publik tidak pernah disiapkan, bahkan tidak pernah tahu, namun harus menerima kebijakan tersebut. Kondisi ini dapat diubah oleh anggota DPRD melalui mekanisme reses dan mekanisme lainnya di DPRD.

Anggota DPRD perlu selalu menyampaikan kebijakan yang akan dibentuk oleh DPRD dan pemerintah daerah, menerima masukan dan koreksi dari konstituen, dan menyiapkan konstituen untuk menerima kebijakan tersebut. Berikut beberapa dampak terhadap konstituen bila sebuah kebijakan dibuat. Pertama, masyarakat atau konstiteun memperoleh manfaat dari kebijakan yang dibentuk, misalnya mengakses layanan yang diadakan atau disediakan. Sebagai contoh, pembentukan Perda Perlindungan Perempuan dan Anak. Pembentukan Perda tersebut melahirkan layananan P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) hingga di tingkat desa/kelurahan, bahkan RT/RW atau paralegal. Layanan tersebut disediakan oleh pemerintah dan harus disosialisaikan kepada konstituen. Anggota DPRD dapat mensosialisasikan keberadaan P2TP2A dan jenis layanan yang tersedia kepada konstituennya.

Anggota DPRD Kota Kendari, Sitti Nurhan Rachman mengemas sosialisasi mengenai penyuluhan kesehatan reproduksi dalam bentuk Reses Partisipatif. Reses tersebut menghasilkan daftar nama konstituen perempuan untuk melakukan pemeriksaan pap smear dan tes IVA (Inspeksi Visual dengan Asam Asetat), yang sebelumnya tidak pernah diketahui, baik penyakit terkait kesehatan reproduksi perempuan maupun tersediannya pemeriksaan pap smear dan tes IVA di instansi pemerintah.

Kasus penderita kanker serviks dan kanker payudara di Kota Kendari baru mulai bermunculan dan mendapat respon dari pemerintah daerah, setelah kelompok konstituen mengadukan kepada anggota DPRD. Kanker serviks dan kanker payudara menjadi perhatian publik setelah beberapa anggota DPRD membawa daftar penderita ke SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) terkait. Ironisnya, SKPD terkait mempunyai program-program yang berhubungan dengan penyuluhan dan penanganan penderita kanker serviks dan kanker payudara. Dan program-program tersebut tidak diketahui oleh masyarakat.

Kedua, kebijakan yang menuntut masyarakat atau konstituen berkontribusi pada pembangunan, misalnya membayar retribusi dan lain-lain. Jika DPRD dan pemerintah membentuk kebijakan yang mengharuskan masyarakat berkontribusi pada pembangunan, maka sejak awal masyarakat harus mengetahui dan ikut berpartisipasi pembentukan aturan tersebut.

Melalui anggota DPRD masyarakat dapat mengetahui proses pembentukan kebijakan tersebut, sehingga masyarakat dapat berkontrubusi secara maksimal, tidak hanya proses pembentukan kebijakannya, tetapi implementasinya. Sebagai contoh, penelitian Rijal (2017) menyebutkan bahwa umumnya masyarakat pemilik kendaraan di Kota Makassar tidak tahu tarif parkir di Kota Makassar. Dengan begitu masyarakat tidak peduli tarif parkir yang dibayarnya, termasuk jarang meminta karcis pada tukang parkir. Padahal tarif parkir dan masalah perparkiran sangat dekat dengan masyarakat, dan tentu diatur dalam kebijakan setingkat Peraturan Daerah.

Masyarakat diminta berkontribusi pada pembangunan tapi masyarakat tidak mengetahui prosesnya. Padahal pemerintah daerah melalui SKPD selalu mempunyai keterbatasan dalam mengimplementasikan sebuah kebijakan. Untuk mengatasinya, maka perlu keterlibatan masyarakat. Namun, pelibatan masyarakat harus dimulai sejak awal, ketika baru disiapkan pembentukan kebijakan. Ini akan memberi dua keuntungan sekaligus, yaitu: (1) masyarakat ikut berkontribusi pada pembentukan kebijakan, sehingga masyarakat merasa memiliki dan peduli terhadap kebijakan tersebut; dan (2) karena masyarakat mengeahuinya, maka dengan mudah ikut mengawasi proses implementasinya. Jika terjadi penyelewengan di lapangan, masyarakat dengan mudah mengetahuinya karena juga mengetahui aturan yang dibentuk.

Ketiga, kebijakan yang berdampak negatif, misalnya kerusakan lingkungan, relokasi, dan sebagainya. Pembentukan kebijakan terkait dengan pengelolaan sumber daya alam, kemungkinan berdampak negatif terhadap masyarakat atau konstituen. Anggota DPRD perlu menyampaikan kepada konstituennya mengenai kebijakan yang dibentuk tersebut sejak awal. Dengan begitu, konstituen sejak awal sudah menyiapkan diri untuk menghadapi dampak yang terjadi. Kemungkinan yang terjadi adalah penolakan konstituen terhadap kebijakan yang dibuat. Namun itu akan memberi banyak pilihan dan opsi bagi pembuat kebijakan untuk berdialog dan menyampaikan apa yang akan terjadi bila kebijakan tersebut diterapkan.

Selain berkontribusi pada pembentukan kebijakan, masyarakat juga sudah mempunyai persiapan-persiapan jika suatu saat terjadi perubahan yang kemungkinan berdampak negatif, yang tidak diprediksi sejak awal. Setiap kebijakan akan berdampak pada masyarakat, dan di antara dampak tersebut kemungkinan tidak dapat diprediksi. Namun, masyarakat telah dipersiapkan untuk menghadapi situasi yang terjadi. 

Memperkuat Partisipasi Konstituen
Sebagai pihak yang mempunyai fungsi legislasi, anggota DPRD dapat mengusulkan pembentukan peraturan daerah (Perda). Karena merupakan kebijakan yang dibentuk bersama antara DPRD dan pemerintah daerah, pembentukan perda mensyaratkan pelibatan atau partisipasi masyarakat. Di samping itu, perda adalah instrumen yang bila diterapkan akan berdampak pada masyarakat, tidak hanya positif, tetapi juga negatif.

Di dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan disebutkan bahwa, masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, yang dilakukan melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi, seminar, lokakarya, atau diskusi. Masukan masyarakat disampaikan oleh perorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi rancangan perundang-undangan, karena itu rancangan perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

Namun, partisipasi masyarakat dalam pembentukan perundang-undangan tidak terjadi begitu saja. Hanya sedikit masyarakat yang peduli dan mau ikut terlibat dalam pembentukan perundang-undangan, termasuk masyarakat yang berkepentingan atau terkena dampak dari peraturan perundang-undangan yang dibentuk. Banyaknya undang-undang yang diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan banyaknya perda yang dibatalkan oleh pemerintah pusat, menunjukkan bahwa para pihak yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan tidak selalu melibatkan masyarakat.

Di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, pelibatan masyarakat dalam pembentukan perda hanya pada tingkat konsultasi publik, baik yang dilakukan oleh pemerintah daerah maupun DPRD. Penulis mempunyai pengalaman dalam setiap konsultasi publik, dan peserta konsultasi publik baru tahu ada pembentukan perda tersebut pada saat itu.

Kondisi ini harus diubah oleh Anggota DPRD dan DPRD dalam setiap pembentukan perda. Anggota DPRD dan DPRD perlu meningkatkan partisipasi masyarakat dalam setiap pembentukan perda. Karena setiap anggota DPRD mempunyai konstituen, maka adalah kewajibannya untuk mendorong dan meningkatkan partisipasi konstituen tersebut. Berikut beberapa hal yang dapat ditempuh oleh anggota DPRD.

Pertama, Anggota DPRD sejak awal mensosialisasikan propemperda (program pembentukan perda) kepada konstituennya. Sekalipun propemperda adalah informasi yang terbuka dan dimuat oleh media massa, namun hanya sedikit masyarakat yang mengetahuinya. Anggota DPRD dapat mensosialisasikan propemperda tersebut kepada konstituennya baik melalui reses maupun kegiatan lainnya. Dengan mengetahui perda apa saja yang akan dibentuk oleh DPRD dan pemerintah daerah, konstituen mempunyai gambaran mengenai perda-perda tersebut.

Jika suatu saat konstituen terlibat dalam proses pembentukan perda, baik mendiskusikan draft raperda atau ikut dalam konsultasi publik, konstituen telah siap dengan apa yang perlu dimasukkan. Atau konstituen menjadi partisipan dalam riset atau assesmen, mereka dapat memberikan informasi yang lebih lengkap dan detail, karena telah mendapat informasi dari anggota DPRD.

Kedua, meminta masukan sejak awal mengenai permasalahan atau materi terkait dengan raperda. Anggota DPRD dapat meminta masukan mengenai permasalahan atau materi tentang suatu perda sejak awal, melalui reses atau kegiatan lainnya. Konstituen perlu diajak untuk mendiskusikan suatu masalah yang akan diperdakan, terutama jika masalah atau materi yang diatur nantinya berdampak pada konstituen.

Dengan adanya informasi sejak awal, anggota DPRD telah mempunyai gambaran mengenai materi sebuah perda. Di samping itu, anggota DPRD dapat membandingkan informasi yang didapatkan dari konstituennya, dan materi yang diperoleh para peneliti atau ahli yang melakukan penelitian atau assesmen untuk kepentingan penyusunan naskah akademik.

Jika anggota DPRD mempunyai bahan yang cukup yang diperoleh dari masyarakat atau konstituennya terkait sebuah perda, kemungkinan pembahasan raperda tidak berlarut-larut. Sering terjadi pembahasan draft raperda berlarut-larut, bahkan perdebatan yang terjadi tidak substansif, karena sebagian besar anggota DPRD tidak memahami subtansi sebuah raperda yang dibahas, juga tidak mempunyai gambaran mengenai permasalahan tersebut yang terjadi di masyarakat.

Mungkin hanya dianggap sebagai lelucon bila ada anggota DPRD yang menyamakan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) dan RT (Rukun Tetangga) dan RW (Rukun Warga). Jika seorang anggota DPRD tidak bisa membedakan antara RTRW sebagai perencanaan wilayah dan RT/RW sebagai struktur pemerintah di tingkat bawah, maka jangan tanya apa yang dia sosialisasikan dan apa yang dia peroleh dari konstituennya, jika DPRD dan pemerintah daerah membahas Raperda RTRW.

Ketiga, menyebarkan draft raperda dan naskah akademik kepada masyarakat. Jika suatu raperda dalam pembahasan, maka anggota DPRD perlu menyebarluaskan draft raperda dan naskah akademik kepada konstituen sejak awal. Ini akan memberi kesempatan kepada konstiuen untuk memberi masukan, sehingga juga dapat menjadi bahan diskusi bagi anggota DPRD dalam pembahasan draft raperda, baik di tingkat komisi, fraksi, maupun tim pansus.

Jika sebuah draft raperda dan naskah akademiknya mendapat respon dan masukan dari berbagai pihak, maka kemungkinan kesalahan semakin berkurang. Anggota DPRD mendapatkan banyak masukan, sehingga juga akan memperkecil pembuatan perda yang asal-asalan, atau perda yang bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, bahkan mungkin perda yang diskriminatif.

Keempat, konsultasi publik dapat dilakukan pada berbagai komponen dan dalam berbagai tahap. Selama ini konsultasi publik draft raperda tertentu biasanya dilakukan oleh DPRD atau pemerintah daerah. Sehingga konsulttasi publik hanya melegitimasi pengesahan perda. Masyarakat mempunyai waktu yang terbatas untuk memberi masukan terhadap draft raperda pada konsultasi publik tersebut.

Padahal konsultasi publik atau apa pun namanya, dapat dilakukan dalam berbagai tahap, bahkan sejak awal. Tim pansus DPRD Parepara untuk pembentukan Perda Perlindungan Perempuan dan Anak, Tim Perumus Raperda Kabupaten Tana Toraja tentang Perlindungan Perempuan dan Anak, dan Tim Pansus Perda Kabupaten Maros tentang Kabupaten Layak Anak, bahkan mulai mensosialisasikan draft Naskah Akademik. Atau Tim Perumus Raperda Tana Toraja tentang Perlindungan Perempuan dan Anak sudah melakukan konsultasi publik sebelum draft Raperda diserahkan kepada pansus. Artinya, sebuah draft raperda dan naskah akademiknya seharusnya diketahui sejak awal, sehingga masyarakat mempunyai kesempatan untuk mengoreksi dan memberi masukan.

Anggota DPRD perlu berinisiatif untuk mengusulkan kepada tim perumus, tim pansus, atau tim ahli yang sementara membuat draft raperda, sehingga membuka ruang bagi masyarakat dan konstituennya untuk memberi masukan. Jika hal tersebut terjadi, maka akan memudahkan perumusan draft raperda. Jika suatu saat raperda tersebut disahkan menjadi perda dan diimplementasikan, maka perda tersebut bukan barang asing bagi masyarakat.[]

Berita Terkait