Mourinho & Carneiro: Seksisme dalam Olahraga

Oleh M. GHUFRAN H. KORDI K.

Pengamat Sosial

Manajer Chelsea Jose Mourinho tidak pernah lepas dari kontroversi. Manajer yang pernah menjuluki dirinya “the special one” dan “manajer terbaik di dunia” ini dikenal membuat pernyataan dan tindakan yang sering memancing pro-kontra. Karena itu, apa pun yang dikatakan dan dilakukan oleh Mourinho menjadi berita penting dan perhatian publik.

Salah satu kontroversi dari manajer asal Portugis tersebut adalah tudingan beberapa pihak karena dia telah melecehkan dokter klub, Eva Carneiro. Mourinho dituding melecehkan Carneiro dengan meneriakinya “Filha da Puta!” yang dalam bahasa Portugis berarti “anak perempuan murahan”.

Insiden Mourinho dengan Carneiro terjadi saat pertandingan Chelsea melawan Swansea City yang berakhir 2-2 pada 8 Agustus 2015. Carneiro dan fisioterapis Jon Fearn diolok-olok Mourinho karena merawat pemain andalan Eden Hazard di lapangan ketika Chelsea sedang bermain dengan sepuluh pemain. Mourinho menyebut tindakan keduanya sebagai impulsif dan naif.

Mourinho menganggap Carneiro dan Fearn tidak memahami sepakbola karena masuk ke lapangan merawat Hazard. Bagi Mourinho, Hazard bukan cedera tetapi hanya kelelahan. Saat Hazard dirawat, Chelsea terpaksa bermain dengan Sembilan pemain melawan Swansea setelah kiper Thibaut Courtois lebih dulu mendapat kartu merah. Padahal Carneiro dan Fearn masuk ke lapangan setelah mendapat kode dari wasit petandingan agar mereka memberikan perawatan bagi Hazard.

Carneiro Seorang Perempuan

Kekesalan Mourinho yang memuncak bisa dilakukan oleh siapa saja. Namun, dugaan kata-kata  “Filha da Puta!” kepada Carneiro sangat berlebihan dan tidak pantas. Kemarahan Mourinho dengan mengeluarkan kata-kata seksime (diskriminasi atau kebencian terhadap seseorang bergantung terhadap jenis kelamin), tidak hanya meluapkan kekesalan, tetapi juga bahasa yang merendahkan dan menghina perempuan.

Di berbagai masyarakat dunia, kata-kata “perempuan murahan” selalu digunakan untuk menghina dan merendahkan perempuan, yang dituding sebagai pelacur atau pekerja seks. Tidak pernah didengar kata-kata “laki-laki murahan” yang ditujukan kepada pelacur atau pekerja seks laki-laki alias gigolo.

Ungkapan yang seksis dan misoginis (kebencian terhadap perempuan) banyak dialami oleh perempuan, termasuk di dunia olahraga, namun luput dari perhatian. Ungkapan Mourinho menjadi perhatian dan dikecam berbagai pihak, karena dilakukan oleh seorang manajer ternama yang menangani klub-klub sepakbola top dunia dan terjadi di Liga Primer Inggris, liga yang selama ini dianggap menjadi pionir dalam kampanye penghapusan diskriminasi di dunia olah raga.

Pemain-pemain professional dari berbagai negara, berkulit berwarna dan berbagai latar belakang agama dan budaya nyaman bermain di Liga Inggris. Tidak pernah didengar penonton meneriakkan suara monyet atau melempar pisang ke lapangan untuk menghina pemain kulit hitam. Bahkan beberapa pemain berkulit hitam dan muslim menjadi idola di negeri yang dipimpin Ratu Elizabeth ini. Sebutlah Samir Nasri yang muslim, Didier Drogba yang berkulit hitam, dan Yaya Toure yang berkulit hitam dan muslim—untuk menyebut beberapa nama.

Pemain-pemain profesional dari Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang berkulit hitam umumnya merasa nyaman bermain di Liga Inggris. Namun, Liga Inggris pun masih belum terbebas dari diskriminasi berdasarkan seks dan gender.

Patriarki

Kata “patriarki (patriarch)” artinya kekuasaan sang ayah. Patriarki istilah yang dipakai untuk menggambarkan sistem sosial atau ideologi di mana laki-laki sebagai kelompok dominan mengendalikan kekuasaan terhadap kelompok perempuan. Sejalan dengan sistem sosial tersebut adalah kepercayaan atau ideologi bahwa lelaki lebih tinggi kedudukannya dibanding perempuan; bahwa perempuan harus dikuasai oleh laki-laki. Norma-norma moral maupun hukum juga bersifat double standard (standar ganda) yang memberikan lebih banyak hak kepada kaum laki-laki dibanding kepada perempuan, di samping di dasarkan atas patriarki. Jika orang menyebut patriarki, hal itu berarti sistem yang menindas serta merendahkan kaum perempuan, baik dalam lingkungan rumah tangga maupun dalam masyarakat (Bhasin & Khan, 1999).

Sistem sosial di negara yang sangat maju pun belum terbebas dari patriarki  dan diskriminasi berdasarkan seks dan gender. Diskriminasi dan penindasan terhadap perempuan berakar sangat dalam di berbagai masyarakat dan negara. Karena itu, ketika seseorang menghina kepada seorang perempuan dengan menggunakan bahasa yang menghina, merendahkan, dan mendiskriminasi, tidak bisa disebut spontan, tetapi itu telah tersosialisasi sejak dini dan tertanam di dalam diri begitu lama.

Olahraga populer seperti sepak bola merupakan arena strategis dalam menghapus diskriminasi, termasuk diskriminasi berdasarkan seks dan gender. Karena itu, ketika Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA) secara resmi menyatakan tidak terjadi pelanggaran pada komentar diskriminasi yang dilakukan oleh Mourinho, segera organisasi perempuan untuk sepak bola (WIF) langsung mengecam FA. Mereka menyebut FA telah gagal mengatasi diskriminasi, khususnya seksisme, dalam industri sepak bola.

Bagaimana dengan Indonesia? Diskriminasi berdasarkan seks dan gender masih merupakan sesuatu yang serius. Diskursus mengenai seks dan gender pun masih menjadi program dan kegiatan yang elitis. Di tingkat bawah dan rakyat miskin, diskriminasi menyebabkan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan, yang saat ini sangat mengkhawatirkan. Tetapi kemudian yang muncul adalah tudingan mengenai cara berpakaian perempuan yang dianggap tidak sopan. Padahal akarnya adalah sistem sosial-budaya dan bernegara yang patriarki dan diskriminatif terhadap perempuan.

Menutup tulisan ini penulisan kutipkan pernyataan Rock Gerung, ilmuwan dan budayawan Universitas Indonesia (UI) “jangan selalu menyuruh perempuan berpakaian yang sopan, tapi suruhlah para laki-laki berpikiran yang sopan.”(***)

 

Berita Terkait