Oleh M. Ghufran H. Kordi K.
Pengamat Sosial
Perempuan dan laki-laki tidak hanya memiliki identitas biologis berupa jenis kelamin yang menyebabkan laki-laki dan perempuan berbeda secara anatomis dan fungsi-fungsi reproduksi. Akan tetapi—dan ini lebih kompleks—juga memiliki identitas sosial yang dilekatkan secara sosial, turun-temurun, terus-menerus, berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain, dan berubah dari waktu ke waktu.
Identitas sosial yang populer sebagai identitas gender dikonstruksi dan dilekatkan kepada perempuan dan laki-laki sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan. Karena itu, di setiap suku, komunitas, masyarakat, hingga negara, peran sosial dan praktek hubungan perempuan dan laki-laki selalu berbeda.
Perbedaan peran yang lahir dari kontruksi sosial ini tidak menjadi soal, jika tidak melahirkan diskriminasi dan ketidakadilan terhadap salah satu jenis kelamin. Faktanya, peran yang berbeda antara perempuan dan laki-laki menyebabkan diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan di berbagai lingkungan sosial dan sektor kehidupan.
Hukum tidak Memihak Perempuan
Perempuan dipaksa berada di ranah domestik dan berfungsi reproduktif semata. Berbagai instrumen dalam kehidupan, baik bermasyarakat maupun bernegara, dikonstruksi untuk menempatkan perempuan dalam ranah domestik dan fungsi reproduktif. Karenanya berbagai aturan hukum nasional, bukan hanya tidak memihak dan melindungi perempuan, tetapi bahkan merugikan perempuan. Bukan hanya tidak memihak, tetapi sebaliknya mendiskriminasi perempuan.
Sebagai contoh adalah aturan tentang kekerasan seksual terhadap perempuan. Hukum nasional mengatur 5 (lima) jenis kekerasan seksual, yaitu pemerkosaan, pencabulan, perbuatan tidak menyenangkan (KUH Pidana), eksploitasi seksual (UU PKDRT/UU 23/2004), dan trafiking (perdagangan perempuan) untuk tujuan seksual (UU PTPPO/UU 21/2007).
Pemerkosaan atau perkosaan dalam KUHP adalah masuknya penis ke dalam vagina. Padahal pemerkosaan tidak hanya terbatas pada masuknya penis ke dalam vagina, yang dilakukan dengan pemaksaan dan kekerasan, tetapi juga menyangkut hubungan seksual yang dilakukan dengan paksaan, tidak hanya betemunya penis dan vagina.
Sementara pencabulan dan perbuatan tidak menyenangkan merupakan rumusan yang kabur. Dalam banyak kasus, pembuktian pidana pencabulan dan perbuatan tidak menyenangkan bukan hanya sulit, tetapi juga menviktiminasi atau menghukum perempuan. Sementara eksploitasi seksual dan trafiking untuk tujuan seksual merupakan instrumen hukum yang sangat maju. Namun, masih perlu advokasi untuk mendorong penerapan kemajuan instrumen hukum tersebut.
Terlampau Lambat
Selain lima bentuk kekerasan seksual yang dikemukakan di atas dan telah diatur dalam hukum nasional, terdapat bentuk kekerasan seksual lain yang belum diatur dalam hukum nasional. Berdasarkan data dari pengaduan yang dicatat oleh berbagai lembaga pemerhati dan peduli perempuan terdapat 12 (dua belas) bentuk kekerasan yang belum diatur dalam hukum nasional, yaitu : (1) pelecehan seksual; (2) penyiksaan seksual; (3) perbudakan seksual; (4) intimidasi atau serangan bernuansa seksual, termasuk ancaman atau percobaan perkosaan; (5) kontrol seksual, termasuk pemaksaan busana dan kriminalisasi perempuan lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama; (6) pemaksaan aborsi; (7) penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual; (8) pemaksaan perkawinan, termasuk kawin paksa dan kawin gantung; (9) prostitusi paksa; (10) pemaksaan kehamilan; (11) praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan; dan (12) kontrasepsi atau sterilisasi paksa.
Kedua belas bentuk kekerasan seksual yang dikemukakan tersebut adalah fakta yang dialami oleh perempuan. Karena itu, harus diadopsi dan diatur dalam hukum nasional agar hukum dapat menjangkau pelaku. Kekosongan hukum menempatkan perempuan sebagai korban yang tidak terlindungi, sekaligus memberi ruang bagi pelaku dalam melakukan kejahatan seksual terhadap perempuan.
Kekerasan seksual terhadap perempuan adalah kejahatan terhadap perempaun yang paling buruk dan terus berlangsung. Kekerasan seksual terhadap perempuan, bukan hanya karena perempuan menyandung jenis kelamin sebagai perempuan, tetapi juga terkait dengan relasi gender perempuan dan laki-laki yang tidak lepas dari relasi kuasa.
Pemerkosaan terhadap perempuan tidak sekadar pemuasan syahwat seksual, tetapi juga untuk penghinaan, intimidasi, bahkan untuk tindakan rasialis kepada kelompok atau etnik tertentu. Kekerasan seksual selalu menjadi bagian dari konflik dan peperangan, karena kekerasan seksual digunakan untuk menghina, mengtimidasi, dan menjatuhkan mental lawan.
Para akademisi dan penegak hukum harus mengkaji dan melihat kekerasan seksual dari perspektif hak asasi manusia (HAM), gender, dan korban. Kekerasan seksual tidak bisa hanya dilihat dari sudut kejahatan semata, tetapi perspektif yang lebih luas yang menjangkau sudut yang selama ini tidak bisa dijangkau oleh perspektif dan aturan hukum konvesional.
Para pemikir dan penegak hukum progresif sudah sangat maju dalam mengkaji dan menegakkan hukum. Namun, hukum yang berpihak pada hak asasi dan melindungi perempuan masih sangat jauh. Instrumen hukum nasional terlampau lambat mengadopsi dan mengatur hak asasi dan perlindungan perempuan, termasuk aturan-aturan mengenai kekerasan seksual terhadap perempuan.
Kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu dari lima agenda pada Program MAMPU (Maju Perempuan Indonesia untuk Penanggulangan Kemiskinan). Penempatan kekerasan terhadap perempuan sebagai program strategis nasional dimaksudkan untuk mendorong perubahan kebijakan, termasuk instrumen hukum, yang memihak pada perempuan. Pengaturan kekerasan seksual dalam instrumen hukum tidak hanya untuk melindungi perempuan, tetapi juga mengangkat martabat bangsa dan negara ini di mata internasional sebagai bangsa dan negara yang peduli dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan.(***)
Berita Terkait
Tidak ada berita terkait