Kekerasan terhadap Perempuan, Bukan dari Langit!

Oleh M. Ghufran H. Kordi K.

Pengamat Sosial

Kekerasan terhadap perempuan (violence against women) adalah kejahatan yang secara sistematis telah menimpa perempuan dalam waktu yang sangat lama. Namun, sedikit sekali dipermasalahkan, dicatat, dan dilaporkan. Bahkan, dianggap sebagai sesuatu yang lumrah dan biasa sehingga terus-menerus tersosialisasi dari generasi ke generasi.

Kekerasan terhadap perempuan terjadi di berbagai komunitas, etnik, bangsa, agama, dan kelas sosial. Kekerasan terhadap perempuan (dan anak) bukanlah sesuatu yang turun dari langit, melainkan produk sosial dan budaya atau produk peradaban yang mendapat legitimasi dari berbagai aspek kehidupan sehingga terus lestari. Beberapa faktor diidentifikasi sebagai bagian yang tidak bisa dilepaskan dari penyebab kekerasan terhadap perempuan.

Pertama, perempuan adalah manusia kelas dua. Perempuan ditempatkan sebagai jenis kelamin kedua setelah laki-laki di berbagai etnik dan bangsa sejak dulu. Penempatan perempuan sebagai manusia kelas berimplikasi pada perlakuan yang diskriminatif terhadap mereka pada berbagai sektor kehidupan.

Sejak dahulu hingga jaman moderen, perempuan sulit mengakses berbagai layanan sosial, yang berdampak pada kualitas hidup mereka. Mereka tidak dihitung dalam statistik pemerintah sehingga alokasi layanan sosial tidak dapat menjangkau mereka. Bahkan kerja keras mereka dalam ekonomi produktif tidak diakui dan dihitung, walaupun dimanfaatkan dan berkontribusi pada ekonomi.

Penempatan perempuan sebagai manusia kelas dua menyebabkan mereka direndahkan dan kekerasan adalah bagian dari perendahan itu. Karena itu, perempuan yang berasal dari kelas sosial rendah mengalami permasalahan yang lebih rumit. Perempuan tersebut akan mengalami kekerasan ganda karena berasal dari kelas sosial rendah, sekaligus berkelamin perempuan.

Kedua, masyarakat patriarki. Bapak atau laki-laki adalah penguasa tunggal dan manusia paling benar dalam masyarakat patriarki. Di dalam keluarga, semua perempuan harus patuh pada bapak, dan yang membantah adalah durhaka, melakukan kesalahan, atau melawan tradisi dan pranata sosial.

Bapak dan laki-laki adalah penentu dan pengatur di dalam rumah tangga dan di dalam masyarakat. Tidak soal, apakah bapak atau laki-laki itu bisa melakukan atau tidak! Karena itu, banyak sekali bapak dan laki-laki yang stres dan berumur pendek karena memikul ideologi patriarki ini.

Karena menjadi penentu dan pengatur, maka kekuasaan berada di tangan bapak. Bapak menjadi sewenang-wenang terhadap rumah tangga, termasuk melakukan kekerasan terhadap perempuan di dalam rumah. Kekerasan terhadap perempuan terbanyak—mencapai 66 % versi Kementerian PPPA—adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), karena kekuasaan yang tidak terbatas dan tidak terkontrol yang berada di tangan bapak.

Bahkan, bapak dan laki-laki-laki di dalam rumah adalah pelaku kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan di dalam rumah. Kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan bapak dan laki-laki di dalam rumah.

Ketiga, kekerasan berbasis gender. Konstruksi sosial-budaya menghasilkan pembagian peran laki-laki dan perempuan yang berbeda. Laki-laki ditempatkan sebagai manusia publik dan perempuan adalah manusia domestik, yang tidak hanya berdampak pada penempatan perempuan dalam kerja rumahan yang tidak diakui, tetapi juga merendahkan mereka sebagai manusia.

Di banyak masyarakat dan budaya, melahirkan anak perempuan dianggap sebagai bencana, karena nantinya hanya akan masuk ke rumah dan melahirkan anak. Di masyarakat lain, melahirkan anak perempuan adalah modal atau aset. Kedua-duanya menempatkan perempuan sebagai manusia rendah, dan karena itu mereka mengalami berbagai kekerasan sejak dini hingga menjadi lanjut usia.

Keempat, legitimasi struktur sosial. Kekerasan terhadap perempuan mendapat legitimasi dari berbagai lini kehidupan, dari yang rendah di tingkat keluarga hingga agama dan negara. Penafsiran kitab suci ikut membenarkan kekerasan terhadap perempuan. Negara yang berdiri dengan mengambil berbagai tradisi dan agama ikut memperkokoh kekerasan terhadap perempuan.

Kewajiban Negara

Karena itu, upaya untuk mengurangi—sampai pada tingkat menghapus—kekerasan terhadap perempuan harus dimulai dari negara. Negara (pemerintah) mempunyai kekuasaan yang bisa merambah masuk ke ruang-ruang domestik, yang selama ini dianggap sebagai urusan keluarga atau rumah tangga. Namun, negara terlebih dahulu harus menyiapkan aparatus yang mempunyai pengetahuan dan perspektif mengenai perempuan.

Kekerasan terhadap perempuan adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Karenanya negara mempunyai kewajiban (state obligation) untuk mencegah, mengurangi, dan menghapus kejahatan tersebut mulai dari dalam rumah (KDRT), karena kejahatan ini paling banyak terjadi di rumah.

Negara juga harus mengubah berbagai instrumen hukum yang merugikan perempuan, sekaligus mengatur berbagai permasalahan yang selama ini belum diatur dalam instrumen hukum. Sebagai contoh, di dalam hukum nasional, kita hanya mengenal tiga bentuk kekerasan seksual, yaitu pemerkosaan (masuknya penis ke vagina), pencabulan, dan perbuatan tidak menyenangkan. Sementara itu, berdasarkan berbagai pengaduan diidentifikasi sebanyak 15 (lima belas) kekerasan seksual, dan ini belum diatur dalam instrumen hukum nasional.

Memperkuat Perempuan

Di samping itu, memperkuat perempuan menjadi sesuatu yang penting dan strategis. Perempuan adalah korban kekerasan yang merasakan perlakuan tersebut, sehingga selain mereka dapat memetakan permasalahan tersebut, perempuan juga dapat menggalang kekuatan untuk penghapusan kejahatan tersebut.

Kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu dari lima agenda pada Program MAMPU (Maju Perempuan Indonesia untuk Penanggulangan Kemiskinan). Penempatan kekerasan terhadap perempuan sebagai program strategis harus mendapat dukungan berbagai pihak, di mana perempuan harus menjadi pionir.

Memperkuat perempuan agar sejajar/setara dengan laki-laki adalah langkah bijak, karena kesejajaran/kesetaraan akan berdampak pada mencegah, mengurangi, menghapus kekerasan.(***)

 

Berita Terkait