Diskriminasi Perempuan di Tempat Kerja

Oleh M. Ghufran H. Kordi K.

Pengamat Sosial

Diskriminasi (pembedaan) terhadap perempuan karena berbagai latar belakang telah lama terjadi dan mendapat legitimasi dari berbagai aspek kehidupan. Diskriminasi terhadap perempuan terjadi di berbagai sektor kehidupan dan dilakukan oleh laki-laki, perempuan, komunitas, masyarakat, etnik, agama, dan negara.

Diskriminasi terus berlangsung dan lestari, dari yang paling sederhana hingga yang paling canggih dengan legitimasi ilmiah, tafsir kitab suci, hingga berada di berbagai konstitusi negara. Dalam kehidupan sosial dan bernegara dikenal beberapa bentuk diskriminasi, yang semuanya  berdampak dan mengorbankan perempuan. Setiap terjadi bentuk diskriminasi, maka perempuan merupakan pihak yang paling banyak mendapatkan dampak buruk dari kondisi tersebut.

Pertama, diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Diskriminasi berdasarkan jenis kelamin terjadi di hampir semua etnik dan bangsa serta semua kelas sosial. Jenis kelamin “perempuan” menempati posisi kedua atau rendah dibandingkan jenis kelamin “laki-laki”. Karena itu, perempuan dianggap manusia kelas dua dan menjadi obyek seksual : kekerasan dan eksploitasi seksual.

Diskriminasi jenis kelamin berdampak pada penempatan perempuan sebagai manusia yang berfungsi reproduktif semata, sekaligus dianggap rendah sehingga tidak mendapat pelayanan yang memadai. Akibat lanjut adalah kematian ibu hamil dan ibu melahirkan yang tinggi, dan dianggap sebagai hal yang biasa.  

Kedua, diskriminasi berdasarkan gender. Konstruksi sosial-budaya melahirkan peran laki-laki dan perempuan yang berbeda, yang kemudian dianut sebagai sesuatu yang alamiah. Perempuan dianggap cocok berperan di ranah domestik—atau sengaja dibuat menjadi domestik—sedangkan laki-laki dianggap tepat berperan di ranah publik.

Diskriminasi berdasarkan gender berdampak pada penempatan perempuan di ranah domestik, dan ketika mereka berada di ranah publik dianggap sebagai sesuatu yang aneh dan salah. Ketika mereka berprestasi dan menyamai/melewati laki-laki dianggap sebagai manusia yang melanggar kodrat. Akibat lanjut adalah tidak dihargai atau dibedakan dengan laki-laki dalam mengakses berbagai fasilitas, kalau perlu harus dicegah.

Ketiga, diskriminasi berdasarkan status sosial. Di dunia manapun status sosial masih menjadi kebanggaan yang berdampak pada pembedaan manusia berdasarkan status tersebut. Masyarakat yang dikategorisasi sebagai kelas sosial rendah mendapat perlakuan buruk dari berbagai aspek kehidupan dan kebijakan.

Situasi seperti ini sangat berdampak pada perempuan. Secara sosial, perempuan yang berada di kelas sosial rendah mengalami kesulitan mendapat akses dalam sumber daya kehidupan dan layanan sosial, baik karena status sosialnya, maupun karena perempuan. Jangan heran, perempuan yang paling banyak menjadi korban—misalnya angka kematian ibu hamil dan melahirkan—pastilah perempuan miskin dan status sosial rendah.

Keempat, diskriminasi berdasarkan etnik, ras, dan budaya. Diskriminasi terhadap kelompok/etnik dan ras minoritas terjadi di berbagai tempat dengan banyak pelaku. Kelompok dan etnik mayoritas biasanya menjadi pelaku diskriminasi ditambah dengan negara yang tidak sensitif terhadap kondisi ini.

Perempuan dan anak dari kelompok/etnik minoritas adalah pihak yang mudah dikorbankan dalam pembedaan ini. Kekerasan—termasuk kekerasan seksual—paling banyak diderita oleh perempuan dari kelompok/etnik minoritas. Peristiwa pemerkosan massal terhadap perempuan etnik Tionghoa menjelang Reformasi 1998 adalah contoh buruk bagi bangsa Indonesia.

Kelima, diskriminasi berdasarkan agama dan keyakinan. Kitab suci agama-agama besar menggunakan bahasa laki-laki, yang kemudian para penafsir memperkuatnya dengan meningkatkan derajat laki-laki dan menurunkan derajat perempuan. Maka perempuan pun menjadi korban dan dibedakan dengan laki-laki.

Dalam banyak kondisi, agama bukan menjadi pembebas bagi perempuan, sebagaimana roh dari agama, melainkan mendiskriminasi perempuan. Perlakuan diskriminatif dan tidak manusia terhadap peremnpuan, bahkan dianggap sebagai jalan menuju surga bagi perempuan. Jangan heran kalau kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh suami dianggap sebagai sesuatu yang diperintahkan Tuhan.

Keenam, diskriminasi berdasarkan politik dan kekuasaan. Pilihan politik sering merugikan kelompok-kelompok yang tidak berkuasa. Dan perempuanlah yang paling menderita ketika kelompok penguasa melakukan diskriminasi dalam berkuasa. Di masa orde baru, perempuan yang berbeda dengan orde baru dicap sebagai komunis dan pembangkang sehingga harus dihilangkan.

Berpindah ke Tempat Kerja

Saat ini situasi mulai berubah, karena semakin banyak perempuan mengakses pendidikan yang lebih baik, walaupun belum sebanyak laki-laki. Namun, perempuan masih menghadapi kondisi yang tidak kondusif di tempat kerja, di berbagai tempat dan lembaga. Mereka dihambat oleh kekuasaan laki-laki yang tidak logis dan tidak rela disaingi laki-laki.

Di banyak tempat kerja, lingkungan kerja dibuat hanya untuk laki-laki, yang berarti tidak sensitif terhadap kebutuhan perempuan. Bahkan tenaga kerja perempuan direkrut bukan karena kapasitasnya, melainkan karena dia perempuan untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang dianggap “menarik” dan “menjual”. Lihatlah tenaga-tenaga promosi perempuan yang berpakaian mini dan seksi yang mengubar paha dan dada.

Di toko-toko swalayan, perempuan yang telah menikah tidak diterima lagi. Sementara itu, pekerja perempuan harus menggunakan rok mini dan baju ketat, sedangkan pekerja laki-laki menggunakan pakaian lebih tertutup. 

Ini adalah diskriminasi yang luar biasa yang dipindahkan ke tempat kerja yang dianggap sebagai wilayah publik itu. Di tempat yang publik ini penempatan perempuan sebagai manusia kelas dua masih terus berlangsung.

Penghapusan Diskriminasi

Diskriminasi perempuan dalam bentuk apa pun harus dihapuskan. Karena itu, penghargaan perempuan di tempat kerja harus ditempatkan pada level kemanusiaan dan prestasi, bukan komoditi atau hitungan ekonomi.

Akses perempuan terhadap pekerjaan dan penghapusan diskriminasi di tempat kerja, merupakan satu dari lima tema Program MAMPU (Maju Perempuan Indonesia untuk Penanggulangan Kemiskinan). Salah satu program nasional yang diharapkan berkontribusi pada perubahan kebijakan yang lebih adil terhadap perempuan.(***)

 

Berita Terkait