Oleh M. GHUFRAN H. KORDI K.
Ketika disebut nama parlemen (DPR/DPRD/DPD), yang muncul di pikiran pendengar bermacam-macam. Namun, yang paling pertama dan umum adalah, institusi parlemen berisikan orang-orang terhormat. Parlemen adalah salah satu tiang demokrasi menurut trias politika klasik bersama eksekutif dan yudikatif. Parlemen mempunyai fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Namun, seleksi anggota parlemen berbeda dengan seleksi eksekutif dan yudikatif, yang prosesnya lebih terukur dengan penjenjangan karir yang bertingkat. Seleksi anggota parlemen dilakukan oleh pemilih dalam Pemilu (pemilihan umum), yang kemungkinan melahirkan anggota parlemen yang berkualitas atau sangat tidak berkualitas. Cerita lucu, konyol, dan memalukan terkait anggota parlemen sudah umum di negeri ini.
Namun, itu adalah fakta yang harus diterima. Tidak adanya sistem dan standar rekruitmen pada partai politik, ditengarai sebagai biang munculnya anggota parlemen yang tidak sesuai dengan kebutuhan terkait dengan tugas dan fungsi anggota di parlemen. Menjadi politisi juga bukan sebagai salah satu profesi yang dijalani sepenuhnya oleh sebagian anggota parlemen. Ada anggota parlemen yang melihat peluang dan kemudian mencoba peruntungan, dan kemudian terpilih.
Dengan begitu menjadi anggota parlemen bukan sebagai kelanjutan dari sebuah proses yang dijalani sebelumnya, tetapi secara kebetulan terpilih dari berbagai upaya dalam memburu peruntungan. Tentu itu tidak salah dari sisi mencari pekerjaan untuk menyambung hidup. Masalahnya adalah anggota parlemen yang dihasilkan dalam Pemilu adalah politisi-politis karbitan dengan kualitas di bawah standar.
Anggota parlemen di daerah (DPRD provinsi dan kabupaten/kota) tentu lebih memprihatinkan lagi. Banyaknya Perda (peraturan daerah) yang dibatalkan Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri) adalah salah satu ukuran, betapa rendahnya kualitas anggota parlemen di daerah.
*****
Berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan kapasitas anggota parlemen. Namun, tidak semua anggota parlemen peduli dan serius dengan peningkatan kapasitas. Anggota parlemen lebih ingin berwisata dengan nama studi banding dan konsultasi.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan kapasitas anggota parlemen tidak menarik bagi mereka. Selain kapasitas belajar anggota parlemen yang pas-pasan, metode yang digunakan juga menjadi kendala dalam peningkatan kapasitas anggota parlemen. Bimbingan teknis (Bimtek) yang bertujuan meningkatkan anggota parlemen, ternyata membosankan bagi banyak anggota parlemen karena metode satu arah atau ceramah. Metode tersebut oleh sebagian besar anggota parlemen, bukan hanya tidak menarik, tetapi juga tidak banyak membantu peningkatan kapasitas anggota parlemen (LSKP, 2013).
Namun, harapan terhadap anggota parlemen selalu ada. Di DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Kota Parepare terdapat pembelajaran yang baik mengenai anggota parlemen yang selalu aktif untuk meningkatkan kemampuannya. Anggota parlemen di DPRD Parepare aktif mengikuti kegiatan-kegiatan, baik yang dilakukan pemerintah dan DPRD maupun yang dilakukan oleh lembaga non pemerintah.
Anggota parlemen di DPRD Parepare dapat disebut sebagai anggota parlemen pembelajar—meminjan istilah Andrias Harefa. Selama ini informasi mengenai anggota DPRD Parepare, khususnya terkait dengan keikutsertaan dalam kegiatan-kegiatan dan mengadopsi pembelajaran yang baik.
Belajar dari Mitra
Sangat jarang ditemukan anggota DPRD secara kolektif duduk berjam-jam mendengarkan presentasi dari seorang kepala dinas yang merupakan bawahan walikota atau seorang aktivis LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Hampir tidak ditemukan anggota DPRD dalam jumlah besar dari berasal dari satu daerah (provinsi atau kabupaten/kota) yang mengikuti suatu kegiatan—workshop atau pelatihan—dan bertahan 1-2 hari, tidak selalu menghilang dengan berbagai alasan atau menghilang tanpa diketahui. Yang umum adalah menghilang tanpa diketahui oleh panitia.
Tapi itu berbeda, jika kegiatan itu diikuti oleh anggota DPRD Parepare. Diskusi yang dilakukan oleh LSM atau wartawan dihadiri oleh anggota DPRD Parepare. Jumlah yang hadir sesuai dengan yang diminta oleh pelaksana. Sangat jarang meninggalkan kegiatan, apalagi dengan menghilang tanpa diketahui oleh pelaksana.
Mereka juga cukup terbuka menerima masukan dari berbagai mitra. Tata Tertib DPRD yang Transparan Akuntabel dan Partisipatif (TAP) telah dikembangkan oleh DPRD Parepare sejak periode 2009-2014. Demikian juga Peraturan Daerah (Perda) No. 1 Tahun 2010 tentang Perencanaan dan Penganggaran yang Partisipatif dan Responsif Gender (P3GT) menjadi sebuah pembelajaran yang baik mengenai perencanaan (musrenbang).
Belajar dari Pemerintah
Posisi yang setara antara DPRD dan Pemerintah Daerah (gubernur atau bupati/walikota) menjadikan kepala SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) dan unit kerja dalam posisi sulit. Sudah menjadi rahasia umum, kepala SKPD/unit kerja tidak hanya segan, tetapi juga takut kepada anggota DPRD. Karena itu, hampir tidak ditemukan, seorang kepala SKPD di kabupaten/kota menjadi narasumber untuk kegiatan yang dihadiri oleh anggota DPRD kabupaten/kota. Karena yang terjadi adalah, kalau bukan narasumber yang demam panggung, maka anggota DPRD yang menghilang. Anggota DPRD bisa bertahan pada rapat-rapat kerja, di mana posisi mereka adalah yang “mengadili” atau “mengoreksi” kepala SKPD.
Tapi ini tidak terjadi di Parepare. Berbagai kegiatan untuk anggota DPRD Parepare menjadikan kepala SKPD sebagai narasumber. Pada Desember 2014 YLP2EM Parepare bekerjasama dengan DPRD Parepare melaksanakan Workshop Tupoksi (tugas pokok dan fungsi) anggota DPRD. Kegiatan yang didukung oleh Program MAMPU-Yayasan BaKTI ini juga menjadikan Kepala Inspektorat Kota Parepare, Muh. Husni Syam sebagai salah satu narasumber.
Saat penyajian materi dari Kepala Inspektorat Kota Parepare, anggota DPRD yang mengikuti dan menyimak pemaparan narasumber, tidak ada anggota DPRD yang meninggalkan tempat kegiatan. Padahal Workshop ini dilakukan di Kota Parepare yang memungkinkan anggota DPRD mempunyai banyak alasan untuk meninggalkan tempat workshop.
Belajar dari Konstituen
Anggota DPRD Parepare juga dikenal dengan dan belajar bersama konstituen. Ketika menghadiri musrenbang di kelurahan atau kecamatan, beberapa anggota DPRD Parepare dikenal sebagai peserta setia, tidak meninggalkan kegiatan hingga selesai. Mereka mendengar dan mencatat usulan-usulan dari peserta.
Warga jarang mengeluhkan kehadiran anggota DPRD yang hadir dan menghilang. Memang Parepare adalah wilayah kota yang memungkinkan anggota DPRD secara mudah mendatangi setiap kelurahan untuk mengikuti musrenbang. Tetapi duduk bersama warga selama kegiatan berlangsung secara partisipatif adalah pekerjaan sulit. Namun, bagi sebagian besar anggota DPRD Parepare tetap bertahan dan berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.
Kantor DPRD Parepare juga sangat akrab dengan konstituen. Di tempat lain, kantor DPRD hanya didatangi oleh pendemo. Di Parepare, kantor DPRD menjadi tempat konstituen untuk mengadukan berbagai masalah. Anggota DPRD Parepare mudah ditemui oleh konstituen. Tentu ini tidak terlepas dari keinginan anggota DPRD untuk selalu belajar.(***)