Oleh MATIAS & M. GHUFRAN H. KORDI K. Perempuan dan anak adalah isu dan masalah krusial di masyarakat. Berbagai kasus yang menimpa perempuan dan anak selalu menjadi pemberitaan dan pembicaraan di masyarakat. Sayangnya sebagian besar pemberitaan dan pembicaraan itu menempatkan perempuan dan anak sebagai obyek diskriminasi dan eksploitasi. Diskriminasi (pembedaan) terhadap perempuan dan anak di dalam kehidupan sosial dan bernegara mendapat legitimasi yang panjang dan berlapis. Tidak mudah menghapus praktek diskriminasi terhadap perempuan dan anak karena banyak pihak berusaha mempertahankan dengan berbagai dalih. Budaya dan masyarakat patriarki tertanam begitu kuat, sehingga banyak pihak tidak sadar bahwa praktek kehidupan sosial dan bernegara ternyata mendiskriminasi perempuan dan anak. Karena itu, sebagian besar masyarakat menganggap bahwa praktek kehidupan yang mendiskriminasi perempuan dan anak adalah sesuatu yang turun dari langit, sehingga harus diterima. Protes atau kesadaran mengenai diskriminasi terhadap perempuan dan anak juga telah lama digaungkan. Upaya untuk mengakhiri diskriminasi terhadap perempuan dan anak di negara ini pun telah berlangsung cukup lama. Namun tidak mudah karena mendapat penentangan dari berbagai individu dan kelompok yang mengambil keuntungan dari diskriminasi tersebut. Apalagi diskriminasi perempuan dan anak mendapat legitimasi dalam berbagai bentuk kebijakan di dalam negara. Peraturan perundang-undangan dari yang tinggi hingga yang rendah, program, dan kegiatan pun masih mendiskrimasi perempuan dan anak. Mengubah Persepsi Karena itu, untuk menjadikan isu dan masalah perempuan dan anak sebagai masalah penting, dan menempatkannya dalam kebijakan negara, maka mengubah persepsi atau pandangan para pihak dianggap efektif. Namun, mengubah pandangan berbagai pihak, harus diikuti dengan perubahan berbagai faktor yang selama ini ditengarai menyebabkan pelestarian diskriminasi perempuan dan anak. Dari sisi instrumen hukum, diperlukan aturan yang dapat menghapus diskriminasi, sekaligus melindungi perempuan dan anak. Instrumen hukum tersebut dapat diimplementasikan jika didukung oleh perangkat kelembagaan dan sumber daya manusia yang mumpuni. Berbagai instrumen dan program yang baik, sulit sekali diimplementasikan karena tidak dukung oleh kelembagaan dan sumber daya manusia yang handal. Beberapa pengalaman menjadi pembelajaran yang baik yang dapat dicontoh. Upaya Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Tana Toraja, untuk menjadikan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, sebagai bagian penting dalam kebijakan pembangunan di daerah, patut diapresiasi dan dijadikan pembelajaran. Advokasi Kebijakan Peningkatan status kelembagaan yang mengurusi perempuan dan anak di Kabupaten Tana Toraja menjadi sebuah Dinas, dengan nama DP3A tergolong sangat baru, yakni Januari 2017. Sebelumnya urusan perempuan dan anak hanya ditangani oleh Bagian dalam sebuah instansi yang juga rendah, sebuah Badan. Sejak pembicaraan mengenai perubahan kelembagaan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) muncul di Kabupaten Tana Toraja, perempuan dan beberapa laki-laki anggota DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Kabupaten Tana Toraja, mengusulkan agar urusan perempuan dan anak ditangani oleh lembaga setingkat Dinas. Usulan ini didasarkan pada kertas posisi yang dibuat oleh Yayasan Kombongan Situru (YKS) sebagai mitra Program MAMPU (Kemitraan Australia Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan)-BaKTI di Tana Toraja pada akhir tahun 2014. Di samping diperlukan instrumen hukum di tingkat daerah untuk penanganan permasalahan perempuan dan anak, diperlukan juga lembaga yang mempunyai wewenang untuk menyusun program dan mengembangkan program yang mampu mengatasi permasalahan perempuan dan secara terpadu. Karena itu, pembentukan DP3A Kabupaten Tana Toraja melalui Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah, adalah sebuah langkah maju dan sangat strategis. Dengan kedudukan setingkat Dinas, maka DP3A Kabupaten Tana Toraja mempunyai kewenangan dan posisi yang lebih tinggi dalam membuat kebijakan dan program. Di samping mendorong pembentuk DP3A, sejak tahun 2016 beberapa anggota DPRD telah menginisiasi pembentukan Peraturan Daerah (Perda) untuk Perlindungan Perempuan dan Anak. Perda tersebut diharapkan akan menjadi landasan bagi pembuatan kebijakan dan program DP3A. Dalam proses pengajuan usulan pembentukan Perda Perlindungan Perempuan dan Anak, sebanyak 6 orang perempuan anggota DPRD menjadi tim inisiator. Keenam inisiator tersebut mengajukan draft Raperda (Rancangan Perda) kepada Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) sampai kepada pengusulan dalam Properda (Program peraturan daerah). Dan akhirnya, Perda Perlidungan Perempuan dan Anak merupakan Perda inisiatif DPRD Kabupaten Tana Toraja. Proses pembentukan Perda tersebut dilakukan secara partisipatif, memungkinkan Perda mendapat masukan dan koreksi dari berbagai pihak. Pembentukan Perda melalui proses yang sangat terbuka sejak awal, termasuk melibatkan masyarakat di akar rumput. Anggota tim inisiator juga terlibat dalam penyusunan sejak awal, termasuk terlibat dalam pengambilan data di lapangan. Sedangkan konsultasi publik mulai dilakukan sejak naskah akademik. Akhirnya kemudian dilahirkan Perda Kabupaten Tana Toraja Nomor 4 Tahun 2017 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak. Sementara itu, DP3A Kabupaten Tana Toraja juga menyusun Rencana Strategi (Renstra) yang dilakukan secara terbuka untuk menerima masukan dari berbagai pihak mengenai pemberdayaan dan perlindungan anak, dengan melibatkan semua komponen dan pihak di Tana Toraja. DP3A juga telah membuat SOP (Standar Operasional Prosedur) P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) sebagai pegangan dalam layanan pengaduan, maka terbuka ruang harapan bagi masyarakat untuk menyampaikan pengaduan apabila terjadi kekerasan dan eksploitasi terhadap perempuan dan anak. Penanganan korban kekerasan oleh P2TP2A telah efektif berjalan dengan sistem rujukan, penjemputan korban, proses konseling, dan pendampingan di kepolisian. P2TP2A telah membentuk Tim Konselor dan menyiapkan Rumah Aman (rahasia dan sementara berpindah-pindah) bagi korban kekerasan dan menjaga kerahasiaan identitas pelapor sesuai SOP dan Perda. Biaya yang terkait dengan penanganan kasus (pemeriksaan kesehatan, transport korban dan pelapor, penjemputan dan mengantar korban ke Puskesmas/Rumah Sakit, kepolisian, dan ke Rumah Aman) dibebankan kepada APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) melalui SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) sesuai dengan Tugas Pokok dan fungsi serta kewenangan masing-masing SKPD. Dukungan Media Dukungan Program MAMPU BaKTI melalui YKS terhadap upaya pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di Tana Toraja, juga mendapat liputan yang luas oleh media massa, baik media yang terbit di Palopo (yang dekat dengan Tana Toraja) maupun media di Kota Makassar. Sejak awal program, media massa memberitakan isu perempuan dan anak dengan menggunakan data-data dari kertas posisi yang dibuat oleh YKS. Melalui pembentukan Forum Media sebagai wadah berhimpun para jurnalis untuk mendukung advokasi kebijakan terkait perempuan dan anak, media sangat berperan dalam membentuk opini dan mengarusutamakan issu perempuan dan anak. Media berperan meliput secara luas mengenai dukungan pembentukan DP3A dan pembentukan Perda Perlindungan Perempuan dan Anak. Liputan cukup luas ini memberi dampak, baik terhadap pengambil kebijakan maupun masyarakat.[]