Muli, Gurunya Para Ibu

Muli, Gurunya Para Ibu

Oleh Agusnawati & M. GHUFRAN H. KORDI K.

Bagi aktivis dan pendidik kritis, nama Paulo Freire dan Ivan Illich adalah maha guru untuk pembebasan. Istilah konsientisasi (contiencizacao) atau penyadaran adalah istilah yang populer dan melekat dengan Paulo Freire. Baik Paulo Freire maupun Ivan Illich menekankan bahwa, pendidikan harus meningkatkan daya kritis, memberdayakan, membebaskan, dan memanusiakan.

Karenanya, manusia sekolah adalah manusia-manusia yang lebih baik. Manusia yang lebih kritis dan tidak membebek, tidak menjadi pengikut buta. Lebih berdaya dan mempunyai kekuatan untuk melawan diskriminasi, penindasan, dan kesewenang-wenangan, sehingga menjadi manusia bebas dan merdeka dari ketakutan dan eksploitasi dalam bentuk apa pun.

Guru Aksara Sukarela

Karena itulah, Sri Mulyati, seorang perempuan desa dan ibu rumah tangga yang berusaha memberantas buta aksara di desanya adalah, sesuatu yang sangat penting dan berharga, sehingga harus diapresiasi dan didukung. Perempuan seperti Ibu Muli, begitu nama panggilan sehari-harinya, adalah perempuan langka.

Apalagi sebagai seorang ibu rumah tangga yang mengurusi segala kebutuhan dan keperluan rumah tangga yang telah menyita waktu, Ibu Muli  menjadi pengajar bagi ibu-ibu, suatu pekerjaan yang tidak menghasilkan uang atau barang. Berbeda dengan guru-guru atau tenaga pengajar di sekolah-sekolah formal, nonformal, dan informal yang mengajar untuk mengepulkan asap dapurnya.

Awalnya, Ibu Muli diajak oleh Normawati, seorang guru SD (Sekolah Dasar) untuk bergabung di Sekolah Politik Perempuan Maupe (SPPM). Tahun 2013 Lembaga Pemberdayaan Masyarakat untuk Perempuan (MAUPE) menyelenggarakan program pendidikan politik bagi perempuan di Kabupaten Maros, dan salah satu desa yang menjadi lokasi program adalah Desa Temappaduae, Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros. Di desa inilah, Ibu Muli hidup dengan suami dan 8 orang anaknya.

“Daripada cuma mengurus rumah tangga dan menjadi bahan gunjingan tetangga, karena dilihat sebagai keluarga besar yang tidak mampu, lebih baik saya mengisi keseharian dengan hal-hal yang bermanfaat,” demikian jawab Ibu Muli, ketika ditanya alasannya bergabung dengan SPPM. “Apalagi anak-anak saya  sudah ada yang beranjak remaja sehingga sudah bisa saling menjaga dan mengurus adik-adik,” ujar perempuan berusia 46 tahun ini memberi alasan.

Inisiatif Ibu Muli mengajar membaca dan menulis huruf latin muncul karena desakan seorang perempuan penyandang disabilitas yang tidak pernah mengecap bangku sekolah, Satria (25 tahun). Satria harus berjalan dengan menggunakan tongkat karena terkena penyakit polio sejak kecil. Sebagai perempuan dan penyandang disabilitas, upaya Satria yang mendesak Ibu Muli menjadi guru aksara sukarela patut diacungi jempol. Seorang Satria yang perempuan penyandang disabilitas dapat melihat kemampuan Ibu Muli yang harus ditularkan kepada warga desa yang lainnya.

Tanpa Tanda Jasa

Setelah Satria berhasil menyakinkan Ibu Muli untuk menjadi gurunya, beberapa warga juga tertarik untuk belajar. Awalnya,  Ibu Muli mengajar 4 orang, kemudian bertambah menjadi 10 orang. Warga belajar berumur antara 25-50 tahun. Jam belajar ditetapkan bersama, sesuai dengan waktu lowong warga. Waktu belajar 2-3 kali seminggu, umumnya pada sabtu dan minggu sore. Pelajaran yang diberikan adalah baca tulis, bicara di depan umum, dan praktik membut tanda tangan.

Pelajaran tersebut merupakan pelajaran berkategori hadap masalah. Ibu-ibu yang tidak bisa baca tulis mengalami kesulitan dalam kehidupan sehari-hari, karena segala kebutuhan berhubungan dengan baca-tulis. Mereka juga tidak mampu membantu anak-anak mereka dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah.

Seorang peserta belajar menyatakan, jika mereka tidak mampu baca-tulis, mudah diperalat atau bahkan ditipu oleh siapa pun. Di daerah Maros saat ini terus membangun, termasuk pengembangan industri dan perumahan. Jika warga tidak bisa membaca, maka kemungkinan bisa ditipu untuk menjual tanah dan kebun dengan harga murah atau di bawah standar.

Mereka juga belajar berbicara, sehingga bila mengikuti rapat atau pertemuan tidak hanya menjadi pendengar, tetapi juga memberi masukan dan pendapat. Sedangkan belajar tanda tangan untuk menggantikan kebiasaan selama ini yang menggunakan jempol atau sidik jari. Tanda tangan dianggap lebih praktis dan berkelas dibandingkan dengan jempol yang sudah kuno dan identik dengan buta aksara.

Pekerjaan yang dilakukan oleh Ibu Muli adalah pengabdian tanpa tanda jasa. Apa yang dilakukannya adalah karena warga membutuhkan mengenal huruf latin, bisa membaca, bisa menulis, berbicara, dan bertanda tangan, yang kesemuanya merupakan pengetahuan dan ketrampilan praktis yang dibutuhkan untuk kehidupan sehari-hari.

Pengetahuan dan ketrampilan tersebut sangat sederhana bagi seseorang yang menempuh pendidikan formal, minimal tamatan SD. Namun bagi mereka yang tidak pernah menginjakkan kaki di bangku sekolah atau berhenti sekolah sebelum mengenal pengetahuan dan ketrampilan tersebut, tentu merupakan sesuatu yang sulit dan berat.

Membebaskan Warga

Tahun 2015 Ibu Muli bergabung menjadi pengurus Kelompok Konstituen (KK) Temappaduae. Di KK Temappaduae, istri Abd Wahab ini belajar tentang gender, berbicara di depan umum, demokrasi, politik, dan hak asasi manusia (HAM). Selain bersama KK mendampingi perempuan dan masyarakat miskin dalam mengakses layanan publik, yang merupakan Program Kerja, KK Temappaduae juga telah menjadikan pemberantasan buta aksara latin sebagai program kerja.

Program Kerja KK Temappaduae dibuat sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan warga. Menjadikan pemberantasan buta aksara latin sebagai program kerja, menjadikan KK Temappaduae berupaya membebaskan warga dari buta aksara latin, yang akan berdampak pada peningkatan kualitas hidup warga. Warga yang tidak bisa membaca dan menulis huruf latin mengalami kesulitan dalam berhubungan dengan layanan sosial yang disediakan oleh negara. Warga juga mudah ditipu oleh para rentenir, aparat, dan pihak-pihak yang memanfaatkan kekurangan warga.

Apa yang dilakukan Ibu Muli yang dimulai dari hal-hal kecil, namun sangat berguna, kemudian disadari bahwa itu menjadi kebutuhan warga sehingga dimasukkan ke dalam Program Kerja KK Temappaduae adalah, suatu kemajuan yang sangat berarti dan sangat positif. Perubahan selalu dimulai dari hal-hal kecil yang bermanfaat. Apa yang dibutuhkan oleh Satria, seorang perempuan penyandang disabilitas, ternyata juga dibutuhkan oleh warga lainnya. Dan apa yang dilakukan oleh Ibu Muli dan KK Temappaduae adalah sebuah terobosan untuk membebaskan warga!(***)

 

Berita Terkait