Monitoring dan Evaluasi Program MAMPU BaKTI 2016

Dari Alokasi Dana Desa Hingga Reses Partisipatif

Pada 16-18 Desember 2016 bertempat di Hotel Jayakarta, Senggigi, Mataram, Yayasan BaKTI melaksanakan monitoring dan evaluasi (monev) Program MAMPU (Maju Perempuan Indonesia untuk Penanggulangan Kemiskinan). Monev diikuti oleh lembaga mitra dan 1 sub office, yaitu Lembaga Pemberdayaan Perempuan (LPP) Bone, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat untuk Perempuan (MAUPE) Maros, Yayasan Lembaga Penelitian Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (YLP2EM) Parepare, Yayasan Kombongan Situru (YKS) Tana Toraja, Rumpun Perempuan Sulawesi Tenggara (RPS) Kendari, Yayasan Arika Mahina (YAM) Ambon, Panitia Pengembangan Sosial Ekonomi Keuskupan Atambua (PPSE-KA) Atambua, Belu, dan sub office MAMPU-BaKTI Nusa Tenggara Barat.

Membuka kegiatan monev, Program Manager MAMPU-BaKTI Lusy Palulungan mengatakan monev merupakan bagian dari program, karena dengan monev setiap kekurangan atau capaian dapat diukur. Monev menjadi tempat bagi semua pelaksana program berbagi pembelajaran sehingga semakin menguatkan tim untuk pelaksanaan program tahun selanjutnya.

Sementara menurut Direktur Yayasan BaKTI, M. Yusran Laitupa, bahwa monev ini penting untuk mengukur apa yang telah dibuat dan dicapai tahun 2016, apa yang sudah dijangkau dan berapa banyak yang telah dijangkau, apa yang masih perlu diperkuat ke depannya, dan menjaga kualitas capaian yang ada.

Pencapaian dan Pembelajaran

Pada pemaparan capaian yang disampaikan oleh mitra, beberapa hal dapat dicatat sebagai sesuatu yang positif dan membanggakan, yang dapat dijadikan pelajaran maupun dapat disebut sebagai sesuatu yang inovatif. Capaian-capaian tersebut dikelompokkan sesuai dengan komponen Program MAMPU BaKTI, yaitu DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah), SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah), kelompok konstituen (KK), dan media.

Beberapa anggota DPRD perempuan yang menjadi mitra atau didampingi oleh mitra mengalami peningkatan kapasitas dalam beberapa hal. Ada anggota DPRD perempuan yang menjadi ketua pansus peraturan daerah (Perda), menerapkan reses partisipatif, dan selalu menghubungi media massa dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan. Padahal sebelumnya, jurnalis adalah sesuatu yang menakutkan bagi mayoritas anggota DPRD perempuan.

Pembentukan Perda yang diketuai oleh anggota DPRD perempuan sebagian di antaranya merupakan Perda inisiatif, di mana penyusunannya pun dilakukan sesuai dengan tata aturan penyusanan Perda sebagaimana diatur dalam undang-undang. Penyusunan Perda dimulai dari assessment untuk menggali informasi, penyusunan naskah akademik, penyusunan draft Rancangan Peraturan Daerah (Raperda), konsultasi publik, dan pembahasan Raperda. 

Reses Partisipatif merupakan salah satu capaian penting dalam Program MAMPU terkait dengan DPRD. Penerapan Reses Partisipatif tidak hanya oleh anggota DPRD perempuan, tetapi juga anggota DPRD laki-laki. Reses ini tidak menjadikan rakyat atau konstituen sebagai obyek yang mendengar “khotbah” dan “ceramah” anggota DPRD, tetapi anggota DPRD mendengar usulan-usulan konstituen melalui diskusi dan presentasi. Reses seperti ini diharapkan menghasilkan usulan-usulan yang tercatat, sehingga menjadi dokumen yang dapat digunakan pada Musrenbang (musyawarah perencanaan pembangunan). Dengan demikian setiap usulan dari bawah, tidak bertentangan satu dengan yang lainnya. Satu lagi, peserta Reses Partisipatif tidak hanya laki-laki dan kaum elit, tetapi juga perempuan dan warga miskin.

Di tingkat SKPD, mitra bekerja sama dengan SKPD terkait untuk mengimplementasikan Perda yang telah disahkan, yang dimulai dengan penyusunan Perbup (peraturan bupati) atau Perwali (peraturan walikota). Beberapa SKPD juga telah merespon usulan warga melalui KK dengan menganggarkan kebutuhan kelompok miskin, perempuan, anak, dan kelompok rentan lainnya.

Mitra juga secara aktif mengadvokasi Bagian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menjadi Dinas atau Badan. Dengan meningkatnya status lembaga yang selama ini mengurus dan menaungi perempuan dan anak, ke depan SKPD tersebut dapat memperkuat pemberdayaan perempuan dan perlindungan.

Selama ini, lembaga yang mengurus dan menaungi perempuan dan anak hanya bagian kecil dalam sebuah institusi, sehingga hanya melakukan hal-hal yang sangat kecil dan sangat terbatas, karena mendapatkan alokasi anggaran yang sangat kecil. Sebagai contoh, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Kabupaten Tana Toraja, yang sebelumnya hanya mendapat alokasi anggaran sekitar Rp. 18 juta, kini mencapai Rp. 1 milyar setelah menjadi dinas. Sementara Dinas PPPA Kabupaten Maros mendapat alokasi anggaran sebesar Rp. 1,8 milyar setelah berubah menjadi dinas.

Di tingkat KK, di beberapa daerah KK telah mengikuti Musrenbang. Di dalam Musrenbang anggota KK telah memasukkan usulan-usulan kebutuhan perempuan dan anak, juga di antaranya telah menjadi fasilitator dalam Musrenbang. KK juga telah menginisiasi pembentukan kelompok usaha, termasuk mengakses dana-dana dari pemerintah.

KK juga aktif dalam musyawarah desa, tidak hanya sebagai peserta pasif, tetapi juga berkontribusi pada penyusunan perencanaan dan penganggaran desa, sehingga alokasi dana desa juga diperuntukkan untuk kegiatan-kegiatan untuk memperkuat perempuan dan perlindungan anak, termasuk alokasi dana desa untuk operasional KK.

KK di Kota Kendari menggalakan gerakan sosial “sepuluh ribu” dan “lima ribu” yang menghimpun dana KK untuk membantu masyarakat miskin yang membutuhkan. Gerakan sosial semacam ini diharapkan menjadi gerakan positif yang “menular” ke masyarakat dalam menghimpun dana masyarakat untuk kepentingan sosial.

Terkait media, forum media di lokasi program aktif mendiskusikan berbagai permasalahan perempuan dan kemiskinan, termasuk pemberitaan terhadap isu terkait tema-tema Program MAMPU. Pemberitaan mengenai isu yang diadvokasi oleh mitra cukup efektif memengaruhi pengambil kebijakan untuk peduli terhadap isu atau masalah yang terjadi.

Untuk penggunaan anggaran tahun 2016 hingga 10 Desember rata-rata mitra telah menyerap hingga di atas 80 persen, bahkan sudah ada lembaga yang telah mencapai 87 %. Dengan demikian, hingga akhir Desember 2016, penyerapan anggaran telah mencapai di atas 90 %.

2017: Tahun Kedua di Fase Dua

Tahun 2017 Program MAMPU telah memasuki tahun kedua pada Fase Dua. Pada tahun 2017 diharapkan capaian program telah meningkat hingga tahap kontrol, di mana perempuan miskin telah mempunyai kemampuan untuk mengontrol layanan publik dan kebijakan publik. 

Pada fase pertama (2013-2015) dan tahun pertama (2016) fase kedua, perempuan miskin baru berada di tahap akses dan bersuara (voice). Pada tahap ini, perempuan miskin mengakses layanan-layanan publik dan menyuarakan atau menyampaikan aspirasinya pada saluran-saluran yang telah tersedia.

Pada tahun 2017 juga akan diujicobakan inovasi dari MAMPU untuk penguatan anggota parlemen. Dua daerah yang menjadi tempat ujicoba tersebut adalah Kota Parepare dan Kabupaten Belu. Dua daerah tersebut sebelumnya telah dilakukan penelitian atau studi kebutuhan pengguna untuk menyusun prototipe penguatan anggota parlemen.

Penulis : M. Ghufran H. Kordi K.

 

Berita Terkait