Bisakah beras terus bertambah dan berbunga ketika disimpan di lumbung padi—seperti uang yang terus bertambah dan berbunga ketika disimpan di bank? Ternyata bisa. Kelompok ibu-ibu binaan lembaga PEKKA (Perempuan Kepala Keluarga) di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat sudah membuktikannya.
“Karena banyak anggota kelompok kita yang bertani, waktu itu setelah panen, setiap anggota kumpulkan 25 kilo beras. Dulu di kelompok kita ada sekitar 19 orang, jadi itu sudah dapat lebih dari 400 kilo beras, sekitar 4 kwintal. Ini kita simpan di lumbung,” ujar Ibu Siti Komariyah dari kelompok Sumber Makmur, yang memulai Lumbung Padi mereka di tahun 2010.
“Nanti, anggota yang membutuhkan bisa meminjam beras dari lumbung. Untuk setiap 1 kwintal beras yang dipinjam, jasa atau bunganya 20 kilo per tahun. Ini nanti dibayarkan pada musim panen berikutnya. Jadi kalau kita punya 4 kwintal beras, kita bisa dapat tambahan beras 80 kilo per tahun di lumbung—hanya dari biaya orang bayar jasa saja.”
Menyimpan beras di lumbung padi bukan tak ada risikonya. Ketika disimpan dalam waktu lama, ada-ada saja yang bisa terjadi, mulai dari beras yang berkutu—atau dimakan tikus. “Tapi sekarang kita sudah tahu bagaimana cara menangkalnya,” Ibu Tri Wahyuni menambahkan. “Kita bisa iris-iris daun pandan untuk disebarkan di lumbung. Kemudian kalau malam juga kita nyalakan lampu 5 Watt di dalam. Kalau gelap itu banyak tikus, tapi kalau terang tidak.”
Kini ada tiga kelompok perempuan PEKKA di Rasau, Kabupatan Kubu Raya, yang mengelola lumbung padinya masing-masing: kelompok Sumber Makmur di Rasau Jaya III, serta kelompok Mekar Jaya dan Jaya Berkembang di Rasau Jaya Umum.
“Kita juga waktu itu kan lihat contoh dari Sumber Makmur,” kata Ibu Tri Wahyuni, ketua kelompok Jaya Berkembang. “Awalnya kita pikir, di sini banyak yang sudah punya lumbung sendiri, bagaimana kalau nanti padi kita tidak ada yang pinjam. Tapi kan anggota kita ada juga yang tidak berladang, daripada mereka beli beras banyak-banyak di luar, bisa beli di lumbung kita saja. Ini kan menguntungkan lagi nantinya untuk kelompok kita sendiri.”
Awal membangun lumbung, ibu-ibu sempat meminjam lahan bekas warung—karena belum ada modal dan bantuan. Namun ketika turun dana bantuan dari program MAMPU bersama PEKKA, kini mereka bisa membangun lumbung sendiri. Kira-kira dibutuhkan biaya sekitar 8 juta rupiah untuk membangun satu lumbung padi. Mulai dari pembelian paku, engsel, dan lain-lain, semua pengeluaran untuk pembangunan lumbung dicatat dengan baik beserta bukti-bukti pembeliannya, untuk dilaporkan kembali.
“Kita merasa tertolong dengan adanya lumbung ini. Dulu kan kalau paceklik kita susah cari beras. Kalau pinjam di lumbung kan jasa tidak mahal. Kalau tahun berikutnya kita panen, tinggal kita kembalikan modal pokok dan jasanya,” kata Ibu Siti Qoriyatun.
Jika panen berhasil dan anggota kelompok tak membutuhkan pinjaman beras, kelompok dapat bermusyawarah untuk menjual sejumlah beras yang terkumpul di lumbung mereka. Nantinya, hasil penjualan beras ini dapat dibagikan lagi di antara semua anggota kelompok, dan bisa digunakan untuk membeli keperluan bertani seperti pupuk dan herbisida.
Peminjaman beras untuk anggota kelompok pun tak bisa dilakukan secara semena-mena. Ada batas maksimal peminjaman beras yang harus disepakati oleh seluruh anggota kelompok lewat musyawarah. “Kita kan harus memastikan bahwa ada pemerataan,” ujar Ibu Tri. “Bagaimana kalau ada satu orang yang pinjam banyak sekali—lalu nanti ada anggota lain yang mau pinjam dan stok berasnya habis? Maka kita harus atur jatah dan diskusikan dengan semua anggota kelompok terlebih dahulu. Misalnya ada kelompok yang batas pinjam maksimalnya adalah 50 kilo.”
Saat ini, kegiatan simpan-pinjam beras ini masih dibatasi khusus untuk anggota kelompok saja—yang semuanya adalah kader PEKKA. “Kalau ada orang luar mau pinjam, ya kita tanya apakah dia mau juga jadi kader PEKKA—dan menjalankan kewajibannya sebagai anggota PEKKA. Tidak bisa kalau dia hanya mau jadi anggota lumbung saja, tapi tidak ikut kegiatan PEKKA,” ujar Ibu Kartinah—salah satu kader aktif PEKKA dari Rasau. “Istilahnya kan, kalau mereka hanya mau ikut lumbung tapi tak mau ikut PEKKA, mereka mau senangnya saja. Padahal kan kita baiknya susah-senang itu sama-sama.”
Pengawasan dalam pengembalian peminjaman beras juga menjadi lebih mudah dilakukan jika simpan-pinjam hanya dilakukan oleh sesama anggota. “Jadi misalnya ada yang dulu pinjam beras, kita kan bisa lihat sawahnya, oh, tahun ini panen dia berhasil! Kan kita tahu itu, jadi kita tahu dia punya modal untuk kembalikan pinjaman beras, dan dia pun tidak punya alasan untuk tidak mengembalikan, kan,” Ibu Tri Wahyuni menjelaskan.
Di luar Lumbung Padi, setiap kelompok perempuan di Rasau juga melakukan jimpitan atau arisan beras. Dalam setiap pertemuan kelompok PEKKA, anggota datang dengan membawa beras, telur, atau gula. Jumlahnya beragam sesuai dengan hasil musyawarah kelompok. Misalnya, di kelompok Mekar Jaya, tiap pertemuan kelompok mereka masing-masing menyetorkan sekilo beras dan dua butir telur. Karena mereka memiliki 28 anggota, ini berarti ada 28 kilo beras dan 56 butir telur yang terkumpul setiap dua minggu sekali.
“Nanti kita kocok nama-nama anggota, nama yang keluar akan mendapatkan beras dan telur yang terkumpul hari itu,” kata Ibu Kartinah. “Kalau ada nama yang keluar tapi orangnya tidak hadir, kita masukkan lagi namanya ke kocokan, lalu kita kocok lagi sampai keluar nama orang yang hadir. Jadi ini kan menyemangati ibu-ibu juga supaya selalu hadir di setiap pertemuan PEKKA. Kan sayang kalau dia tidak hadir, tapi namanya keluar, dia tidak bisa dapat arisannya.”
Oleh : Dhina M. Kartikasari (MAMPU)